Prof. Abid Djazuli Ajak Kader IMM Selalu Meneladani Nilai dan Karakter Kader dan Tokoh Muhammadiyah

um-palembang.ac.id – Di tengah dinamika zaman yang terus berubah, Muhammadiyah tetap berdiri sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia. Kiprah panjang ini tidak lepas dari kaderisasi yang terarah dan teladan tokoh-tokoh besar yang menorehkan sejarah perjuangan dakwah, pendidikan, dan sosial.

Dalam materi berjudul “Profil Kader dan Perjuangan Tokoh Muhammadiyah” yang disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang, Prof. Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., terungkap kembali esensi kaderisasi Muhammadiyah. Bahwa sebuah gerakan besar tidak mungkin bertahan lebih dari satu abad tanpa adanya kader yang militan, berideologi kokoh, dan tokoh yang memberi arah perubahan.

Hal tersebut disampaikan Prof. Dr. Abid Djazuli, S.E., M.M., Rektor Universitas Muhammadiyah Palembang saat menjadi narasumber dalam acara Darul Arqam Madya (DAM) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Muhammadiyah Palembang, pada Sabtu, 6 September 2025.

Menurut Prof. Abid Djazuli, kader Muhammadiyah bukan hanya orang yang tercatat sebagai anggota organisasi, tetapi sosok yang sadar, terdidik, dan berkomitmen. Mereka adalah garda terdepan yang menyalakan obor dakwah Islam berkemajuan.

Kader digambarkan sebagai individu yang memiliki kesetiaan ideologis, kecakapan intelektual, serta keberanian praksis dalam mengamalkan nilai Islam. Dalam Pedoman Majelis Pendidikan Kader Muhammadiyah tahun 2010, kader bahkan didefinisikan sebagai “anggota inti yang terlatih serta memiliki komitmen terhadap perjuangan dan cita-cita Persyarikatan.”

Itulah mengapa seorang kader tidak boleh berhenti pada retorika. Ia harus menjadi pimpinan persyarikatan, aktivis ortom, penggerak amal usaha, sekaligus penggerak dakwah.

Muhammadiyah menyadari, membangun kader tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja. Ada tiga jalur yang dikembangkan:

1. Kaderisasi Formal – dilakukan melalui organisasi otonom seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan lain-lain.
2. Kaderisasi Non-Formal – diwujudkan lewat pengajian, dakwah komunitas, hingga amal usaha Muhammadiyah yang tersebar di seluruh tanah air.
3. Kaderisasi Kultural – berlangsung dalam lingkup keluarga, sekolah Muhammadiyah, dan lingkungan sosial yang menanamkan nilai keislaman sejak dini.

Dari jalur-jalur inilah lahir generasi yang siap memegang amanah perjuangan.

Hasil Muktamar ke-46 Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 2010 merumuskan 4 kompetensi utama yang wajib dimiliki seorang kader. Pertama, kompetensi keberagamaan: pemahaman dan pengamalan Islam secara kaffah, yang mencakup akidah, syariah, akhlak, hingga muamalah.

Kedua, kompetensi intelektualitas: kemampuan menghadapi tantangan zaman melalui kecerdasan berpikir, literasi keilmuan, dan kesiapan menyikapi perkembangan teknologi serta sosial. Ketiga, kompetensi sosial: kepedulian terhadap masyarakat, kepekaan terhadap dinamika sosial, dan semangat memadukan spiritualitas dengan pengabdian nyata. Keempat, kompetensi kepemimpinan organisasi: keterampilan mengelola, memimpin, dan mengarahkan gerakan Muhammadiyah agar tetap berkemajuan.

“Empat kompetensi ini bukan pilihan, melainkan satu kesatuan yang harus hidup dalam diri kader,” tegas Prof. Abid.

Matahari Muhammadiyah: Keteladanan Para Tokoh
Sejarah Muhammadiyah ibarat rangkaian cahaya dari matahari yang tak pernah padam. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah pada 1912, menjadi pionir pemurnian ajaran Islam sekaligus pembaharu pendidikan. Beliau menggabungkan ilmu agama dengan pengetahuan umum, mendirikan sekolah Muhammadiyah, dan memperkenalkan sistem pendidikan modern.

Kisah heroiknya masih melegenda: melelang barang-barang pribadi demi keberlangsungan sekolah. Sebuah bukti bahwa dakwah bukan sekadar kata-kata, melainkan pengorbanan nyata.

Tokoh lain seperti KH. Ibrahim mengembangkan organisasi, mendirikan lembaga sosial Fonds Dahlan, serta membangun sekolah-sekolah dengan sistem modern. Pada masanya, Muhammadiyah telah memiliki ratusan sekolah dasar, HIS, dan Schakelschool yang menjadi benteng pendidikan umat.

KH. Mas Mansur, Ketua PB Muhammadiyah periode 1937–1942, dikenal dengan gagasan “Langkah 12 Muhammadiyah” yang memodernisasi strategi dakwah. Ia juga tercatat sebagai bagian dari “Empat Serangkai” bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Bagus Hadikusuma.

Ki Bagus Hadikusuma sendiri dikenang sebagai tokoh yang memperjuangkan nilai Islam dalam Pancasila. Ia menjadi anggota BPUPKI, dan kini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Berlanjut ke generasi pasca-kemerdekaan, KH. AR Fachruddin memimpin PP Muhammadiyah lebih dari 20 tahun (1968–1990). Dengan kesederhanaannya, ia mampu menavigasi organisasi di tengah iklim politik Orde Baru yang penuh tantangan.

Tokoh reformasi, Prof. Dr. Amien Rais, membawa Muhammadiyah ke panggung politik nasional. Sementara Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, atau yang akrab disapa Buya Syafii, menjadi simbol intelektual Muslim yang moderat, konsisten menyerukan Islam sebagai agama pencerahan.

Di era lebih mutakhir, Prof. Dr. Din Syamsuddin (2005–2015) aktif dalam dialog antaragama tingkat internasional, menampilkan wajah Islam yang moderat. Sedangkan Prof. Dr. Haedar Nashir (2015–sekarang) menegaskan kembali fokus Muhammadiyah pada dakwah pencerahan, penguatan ideologi, dan pengembangan amal usaha.

Teladan yang Tak Lekang Zaman
Kisah perjuangan tokoh-tokoh Muhammadiyah bukan hanya catatan sejarah, tetapi teladan hidup. KH. AR Fachruddin, misalnya, selalu menyisihkan harta pribadinya untuk dakwah. Buya Hamka, ulama sekaligus sastrawan besar, meninggalkan warisan pemikiran Islam yang terus dibaca hingga kini. Bahkan Jenderal Sudirman, panglima besar yang dikenal gigih dalam perjuangan kemerdekaan, tak bisa dilepaskan dari lingkungan Muhammadiyah.

Bahkan Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, pernah menyatakan keinginannya agar peti matinya diselimuti panji Muhammadiyah. Sebuah bukti betapa besar pengaruh organisasi ini dalam perjalanan bangsa.

Tantangan Kader Muhammadiyah Kini
Prof. Abid menekankan, tantangan kader Muhammadiyah hari ini tidak kalah berat dibanding generasi sebelumnya. Jika dahulu perjuangan adalah melawan penjajah atau memperjuangkan sistem pendidikan modern, maka kini tantangan datang dari arus globalisasi, krisis moral, serta perubahan sosial yang serba cepat.

“Kader Muhammadiyah harus menjadikan teladan tokoh-tokoh terdahulu sebagai cermin untuk introspeksi diri. Bukan sekadar bangga dengan sejarah, tetapi menjadikannya cambuk agar mampu memberi kontribusi nyata,” ungkapnya.

Tugas besar kader masa kini adalah menjaga identitas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam berkemajuan. Artinya, terus mengembangkan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi; menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semua; serta menolak terjebak dalam politik praktis yang dapat mengaburkan misi dakwah.

Lebih dari satu abad, Muhammadiyah telah membangun ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Semua itu tidak mungkin tercapai tanpa proses kaderisasi yang konsisten.

Kisah hidup para tokoh Muhammadiyah menjadi energi moral yang tidak ternilai. Bagi generasi muda, teladan itu harus dihidupkan kembali dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa Islam bukan hanya ritual, melainkan aksi nyata untuk menciptakan keadilan, persaudaraan, dan kemanusiaan universal.

Seperti pesan Prof. Abid, “Kader Muhammadiyah harus senantiasa memberikan yang terbaik demi tegaknya dakwah Islam berkemajuan. Karena perjuangan tidak pernah berhenti, hanya berganti generasi”.

Editor : Rianza Putra